Pandeglang Kejar Nol Anak Putus Sekolah, tapi Data Masih Bikin Pusing

ANTERO PANDEGLANG - Target nol anak putus sekolah di Pandeglang masih terasa jauh. Upaya pemerintah sudah digas, tapi tembok terbesarnya justru data yang tidak sinkron antar lembaga.
Disdikpora Pandeglang mencatat sekitar 2.000 anak masih masuk kategori ATS pada akhir tahun ajaran 2024–2025. Angkanya memang turun, tapi belum cukup untuk bilang misi sudah aman.
Sekretaris Disdikpora Pandeglang, Nono Suparno, mengakui perjalanan menuju nol ATS tidak bisa ditempuh dalam satu musim politik. Ia menyebut Pandeglang punya tantangan khas, mulai dari kondisi wilayah sampai dinamika sosial.
Nono berkata menihilkan ATS di Pandeglang tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat, bahkan dengan usaha maksimal yang sudah dijalankan pemerintah.
Salah satu penyebab ATS yang terus muncul adalah perpindahan siswa ke pesantren setelah lulus SD atau SMP. Banyak pesantren belum terdaftar sebagai lembaga pendidikan formal, sehingga anak yang pindah tidak masuk hitungan pemerintah.
Disdikpora mendorong warga memilih pesantren yang membuka jalur kesetaraan seperti paket B atau C lewat PKBM agar siswa tetap tercatat dalam sistem pendidikan formal.
Namun tantangan terbesar justru muncul dari administrasi. Data Dukcapil dan Dapodik tidak selalu bersahabat. Perbedaan nama, domisili, hingga penulisan identitas membuat jumlah ATS seolah lebih besar dari kondisi sebenarnya.
Nono menegaskan sebagian ATS hanyalah residu data yang tidak valid. Ia mengatakan kadang anaknya tetap sekolah, tetapi identitasnya tidak cocok antara dua sistem, sehingga otomatis masuk hitungan putus sekolah.
Untuk merapikan semuanya, Disdikpora menggandeng Dukcapil melakukan verifikasi dan sinkronisasi data. Strategi jemput bola melalui PKBM juga digenjot untuk melacak anak yang berada di luar radar pendidikan formal.
Nono menyebut PKBM sebagai jantung pendidikan masyarakat. Ia menjelaskan lembaga ini dikelola warga, tetapi mendapatkan perlindungan serta supervisi dari Disdikpora.
Nono juga mengingatkan orang tua untuk lebih memberi perhatian pada pendidikan dasar anak. Ia menegaskan kewajiban belajar 12 tahun adalah pondasi kesejahteraan masa depan.
Meski perbaikan terus dilakukan, hambatan terbesar tetap pada data yang belum sepenuhnya klop. Selama data masih saling silang, perjalanan menuju nol ATS tentu masih panjang — tapi setidaknya mesinnya sudah menyala.