ANTERO NEWS – Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah memutuskan untuk menjatuhkan sanksi memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi pada Selasa (07/11). Putusan ini diambil setelah Anwar Usman terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim MK terkait putusan kasus batas usia calon presiden.
Dalam pembacaan putusannya, Ketua MKMK, Jimly Asshidiqqie, menyatakan bahwa Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap prinsip-prinsip ketidakberpihakan, integritas, kecakapan dan kesetaraan, independensi, serta kepantasan dan kesopanan yang tertuang dalam Sapta Karsa Hutama.
Dengan pembuktian ini, MKMK menjatuhkan sanksi pemberhentian kepada Anwar Usman dari jabatan ketua MK dan memerintahkan wakil ketua Mahkamah Konstitusi untuk memimpin penyelenggaraan pemilihan pemimpin yang baru dalam waktu 2×24 jam sejak putusan ini selesai diucapkan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, Anwar Usman juga dilarang mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan Mahkamah Konstitusi sampai masa jabatan hakim terlapor sebagai hakim konstitusi berakhir.
Hal ini dilakukan untuk menghindari potensi benturan kepentingan, mengingat Anwar adalah ipar dari Presiden Joko Widodo, dan juga paman dari Gibran Rakabuming Raka, yang menjadi calon wakil presiden di Pilpres 2024 di usia 36 tahun.
Dalam konteks perkara ini, seluruh hakim konstitusi juga dikenakan sanksi teguran lisan terkait dengan dugaan kebocoran rapat tertutup dan praktik pelanggaran berbenturan kepentingan.
Meskipun putusan MKMK telah diambil, terdapat dissenting opinion yang disampaikan oleh anggota MKMK, Bintan R. Saragih, yang menganggap sanksi yang dijatuhkan kepada Anwar Usman sebagai “diberhentikan dengan tidak hormat.”
Secara keseluruhan, MKMK telah memeriksa 11 isu pelanggaran etik hakim MK terkait putusan batas usia calon presiden yang akhirnya membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi calon wakil presiden di Pilpres 2024. Isu-isu ini mencakup ketidakunduran diri Anwar Usman dalam memutuskan perkara tersebut, serta kebohongan dan dugaan pembiaran delapan hakim konstitusi lain terkait dengan potensi konflik kepentingan.
Namun, perlu dicatat bahwa putusan MKMK tidak menyentuh “perkara 90,” yang mengenai syarat capres-cawapres di bawah usia 40 tahun selama bakal calon berpengalaman sebagai kepala daerah. Jimly Asshiddiqie, Ketua MKMK, menegaskan bahwa MKMK tidak berwenang menilai putusan Mahkamah Konstitusi dalam hal ini.
Terlepas dari putusan MKMK, pertanyaan tetap muncul tentang dampak putusan ini terhadap putusan Mahkamah Konstitusi terkait batas usia calon presiden. Meskipun putusan MKMK tidak secara langsung mengubah putusan MK, hasil sidang MKMK dianggap penting untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga penjaga konstitusi tersebut menjelang pemilu mendatang.