Data Kementerian Dalam Negeri Menunjukkan Jumlah Penduduk Banten Mencapai 12,3 Juta Jiwa pada Semester I Tahun 2023
ANTERO NEWS – Provinsi Banten mengalami peningkatan jumlah penduduk sebesar 6,8 persen dalam kurun waktu dua tahun. Berdasarkan laporan Kementerian Dalam Negeri pada semester II tahun 2020, penduduk Banten berjumlah 11.637.637 jiwa. Sementara pada laporan semester I tahun 2023, penduduk Banten meningkat menjadi 12.381.098 jiwa.
Hal ini disampaikan oleh Kepala Dinas Perempuan Perlindungan Anak Kependudukan dan Keluarga Berencana (DP3AKKB) Provinsi Banten Sitti Ma’ani Nina pada Kamis (9/11). Ia mengatakan, sejak 2020 sampai 2021, penduduk Banten bertambah 3,38 persen. “Sedangkan pada semester II tahun 2022 bertambah 2,42 persen,” ujarnya.
Pertumbuhan Penduduk Mempengaruhi Berbagai Aspek Kehidupan Manusia
Nina menjelaskan, masalah kependudukan merupakan salah satu isu penting yang terus menjadi perhatian bagi banyak kalangan. Meningkatnya tingkat pertumbuhan penduduk pada suatu daerah akan membawa dampak bagi berbagai sisi aspek kehidupan manusia. Jika pertumbuhan penduduk secara kuantitas tidak disertai dengan peningkatan kualitas manusia, maka hal ini dapat menimbulkan beban dan masalah baru bagi pembangunan. Upaya untuk meningkatkan pemerataan kesejahteraan dalam berbagai aspek kehidupan akan terhambat oleh lajunya tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi.
“Permasalahan tentang kependudukan akan membawa pada angka beban ketergantungan (dependency ratio) yang besar. Angkatan kerja yang produktif harus memelihara beban atau tanggungan yang besar dari penduduk berusia lanjut dan anak-anak. Jika nilai dependency ratio terus meningkat, maka akan membawa dampak negatif untuk kependudukan,” kata Nina.
Umur Perkawinan Pertama Berpengaruh Terhadap Fertilitas
Salah satu faktor yang digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk adalah umur perkawinan pertama. Umur perkawinan pertama adalah umur menikah pertama kali seorang perempuan melalui ikatan pernikahan secara hukum dan biologi yang berarti juga saat dimulainya masa reproduksinya pembuahan.
“Umur perkawinan pertama memiliki hubungan negatif dengan fertilitas. Jika semakin muda umur perkawinan pertama maka akan semakin panjang masa reproduksi atau semakin banyak anak yang akan dilahirkan. Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974, pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun, usulan perubahan pada pasal 7 tahun 1974 ayat (1) perkawinan dapat dan dilakukan jika pihak laki-laki dan perempuan berusia minimal 19 tahun, ayat (2) untuk melangsungkan pernikahan masing-masing calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun, harus mendapat izin kedua orang tua,” ujarnya.
Nina mengungkapkan, usia perkawinan pertama memiliki risiko terhadap persalinan yang akan dialami oleh perempuan baik jika terlalu muda maupun terlalu tua.
“Semakin muda usia kawin pertama maka akan semakin besar pula risiko yang akan dihadapi baik oleh ibu maupun anaknya nanti. Risiko yang sama pun berlaku jika usia kawin pertama seorang wanita semakin tua,” terang Nina.
Ia menambahkan, risiko yang ditimbulkan dari usia kawin pertama tidak hanya bersifat medik dan menyangkut keselamatan fisik ibu dan anak tetapi juga tentang kualitas sumber daya manusia generasi mendatang yang dihasilkan.